Presiden ke-7 Republik Indonesia, Joko Widodo (Jokowi), menyambut baik keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) untuk menghilangkan ambang batas pencalonan presiden atau presidential threshold sebesar 20 persen.
Dia berharap dengan putusan ini, masyarakat ada pilihan lebih banyak terkait calon presiden (capres) dalam pemilihan perdana.
Dia berharap hal itu terjadi (jumlah capres yang semakin banyak)," katanya di kediamannya di Sumber, Banjarsari, Solo, pada (3/1/2025) dikutip dari Tribun Solo.
Lebih lanjut, Jokowi berharap agar keputusan MK segera ditindaklanjuti oleh pembentuk undang-undang, yaitu DPR.
"Putusan itu sudah final dan mengikat sudah fuer diambil oleh Mahkamah Konstitusional. Sehingga nanti akan segera dilaksanakan oleh pembentuk undang-undang, yaitu DPR," sebutnya.
Paragraf pertama:
Kemarin, Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan berakhirnya perdebatan sengit terkait Gugatan Mahfud MD terhadap UU Cipta Kerja. Gugatan tersebut dimenangkan oleh Mahfud, tetapi Presiden Joko Widodo (Jokowi) menilai keputusan MK masih diragukan.
Dulu, Mahkamah Konstitusi (MK) menyetujui permohonan dari perkara nomor 62/PUU-XXII/2024, yang diajukan oleh Enika Maya Oktavia dan timnya, mahasiswa Fakultas Syariah dan Hukum UIN Sunan Kalijaga.
Permohonan tersebut terkait tentang penghapusan ambang batas pilihan presiden atau presidential threshold.
“Memenuhi harapan seluruh pihak," ujar Ketua MK Suhartoyo di ruang sidang utama, Gedung Mahkamah Konstitusi, Jakarta Pusat, Kamis (2/1/2025).
Mahkamah Konstitusi menyatakan pencabutan ambang batas presiden yang dijabarkan dalam Pasal 222 UU No 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum melawan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum yang mengikat.
Dalam pertimbangan masih, MK kemudian menyatakan bahwa frasa "perolehan kursi paling sedikit 20 persen dari jumlah kursi DPR atau memperoleh 25 persen dari suara sah secara nasional pada pemilu anggota DPR sebelumnya" dalam Pasal 222 UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu, menutup dan menghilangkan hak konstitusional partai politik peserta pemilu yang tidak memiliki persentase suara sah nasional atau persentase jumlah kursi DPR di pemilu sebelumnya untuk mengusulkan pasangan calon presiden dan wakil presiden.
Selain itu, Mahkamah Konstitusi menilai penentuan besaran ambang batas dari lauknya tidak didasarkan pada hitungan yang jelas dengan rasionalitas yang kuat.
Suatu hal yang bisa dipahami oleh Mahkamah ini adalah, penetapan besaran atau persentase itu lebih menguntungkan partai besar, atau setidaknya memberi keuntungan bagi partai peserta pemilu yang memiliki kursi di Dewan Perwakilan Rakyat.
Partai Amanat Nasional (PAN) menyimpulkan bahwa peresmian suara ocasthec tuljadi menganggapi Megawati bersyariatan pembenturanpentingan.
Mahkamah juga mempertanyakan untuk kehilangan hak politik dan kedaulatan rakyatnya karena pembatasan itu menutup kemungkinan adanya banyak alternatif paslon bestellen.
Selain itu setelah analisis arah pergerakan kebijakan terkini Indonesia, MK membaca kecenderungan yang konsisten untuk selalu mengoptimalkan penyelenggaraan pemilu presiden dan wakil presiden agar dapat memiliki hanya dua paslon.
Padahal, sejak pemilu langsung digelar, masyarakat dengan mudah jebak dalam polarisasi, sedangkan jika tidak diprediksi akan mengancam persatuan keberagaman Indonesia.
Bahkan jika pengaturan tersebut dibiarkan, tidak ada yang menghalangi kemungkinan pemilu presiden dan wakil presiden akan terjebak dengan calon tunggal.
Kehendak calon tunggal juga telah dilihat oleh Mahkamah Konstitusi dalam fenomena pilkada yang dari waktu ke waktu semakin cenderung ke arah munculnya calon tunggal atau tanpa lista.
Artinya mempertahankan ambang laut presiden, yang berpotensi menghalangi efektivitas pelaksanaan pilpres secara langsung oleh rakyat karena menyediakan banyak pilihan paslon.
"Jika itu terjadi makna sebenarnya dari Pasal 6A ayat (1) UUD 1945 akan hilang atau setidaknya tergeser," kata Hakim Konstitusi Saldi Isra.
Halu ini juga diajukan MK kepada pembentuk undang-undang dalam proses revisi Undang-Undang Pemilu dapat merekayasa konstitusional, meliputi:
Semua partai politik peserta pemilu berhak mengajukan calon presiden dan wakil presiden.
Pengusulan paslon oleh partai politik atau gabungan partai politik tidak didasarkan pada persentase rasio kursi di DPR atau perolehan suara sah secara nasional.
Partai politik yang berpartisipasi dalam pemilihan umum dapat menunjuk pasangan calon presiden dan wakil presiden sendiri, selama konsolidasi antar partai-partai tidak menyebabkan dominasi partai atau konsolidasi partai-partai yang mengurangi pilihan paslon presiden dan wakil presiden, serta mengurangi contoh bagi pemilih.
Partai politik yang berpartisipasi dalam pemilu yang tidak mengusulkan pasangan calon presiden dan wakil presiden akan dikenakan sanksi larangan berpartisipasi dalam pemilu periode selanjutnya.
Akhirnya, perumusan rekayasa konstitusional tersebut juga mencakup perubahan UU No. 7 tahun 2017 yang melibatkan partisipasi semua pihak yang berkepentingan dalam penyelenggaraan pemilihan umum, termasuk partai politik yang tidak meraih kursi di DPR dan diimplementasikan dengan konsep partisipasi publik yang berarti.
“Sesungguhnya Pasal 222 UU 7/2017 tidak memenuhi prinsip kesetaraan di hadapan hukum dan pemerintahan, hak untuk berjuang bersama-sama, serta kepastian hukum adil,” ungkap Saldi.
)
No comments:
Post a Comment